Senin, 26 Maret 2012

GUNUNG MERAPI


"Sak piro dukure gunung isik dukuran suket..., sak piro gedhe'ne kekuasaane menungso isik onok wates lan titi mongso'e..."
Ekstrak Fenomena :
MISTIS :
NAMA gunung Merapi sudah cukup populer di telinga masyarakat Indonesia. Sesuatu yang berkaitan keberadaan gunung Merapi kerap dikaitkan dengan hal-hal berbau misteri, di antaranya keberadaan makhluk-makhluk gaib penguasa dan penghuni gunung Merapi. Hal ini tidaklah berlebihan, karena hasil investigasi membuktikan bahwa masyarakat setempat yakin kalau penghuni dan penguasa gunung Merapi memang ada.
Mereka memanggilnya dengan sebutan Eyang Merapi. "Bapak lihat bukit kecil di atas itu? Itu namanya gunung Wutah, gapuranya atau pintu gerbangnya kraton Eyang Merapi". Sebaris kalimat dengan nada bangga itu meluncur begitu saja dari Bangat, seorang penduduk asli Kinahrejo Cangkrinagan Sleman, sesaat setelah kami menapaki sebuah ara tandus berbatu tanpa hiasan pepohonan sebatang pun.
Masyarakat setempat meyakini, kawasan wingit yang diapit oleh dua buah gundukan kecil itu memang dikenal sebagai pelatarannya keraton Eyang Merapi. Untuk naik ke sana, diingatkan agar uluk salam, atau sekadar minta permisi begitu di atasnya. "Kulo nuwun Eyang, kulo ingkang sowan, sumangga silakna rikma niro," imbuh istri Bangat, Suharjiyah, sembari menuntun kami untuk menirukan lafal tersebut.
Tenyu saja, imbauan sepasang suami istri yang tubuhnya kian keriput dimakan usia itu bukan tanpa alasan. Menurutnya, sang penguasa kraton Merapi sangat tersinggung bila ada pendatang baru yang neko-neko (berbuat macam-macam), pethakilan (bertingkah tidak senonoh) tanpa memberi uluk salam (permisi). Hal-hal tersebut jika dilanggar akibatnya akan sangat fatal. "Mereka yang sama sekali tidak mengubris pakem kultur tersebut jelas akibatnya akan fatal, biasanya akan tersesat hingga kecebur jurang," tegas Bangat.
Satu hal yang perlu diingat, setiap pendatang baru di kawasan Kinahrejo niscaya bakal celaka bila sampai menyakiti hati penduduk setempat. "Nantinya bisa-bisa kuwalat jadinya," imbuh Bangat. Sekejam itukah? "Sebenarnya sih enggak. Cuma memang, Eyang Merapi itu nggak suka kalau kampung sini (Kinahrejo, Red) jadi sasaran perbuatan yang nggak terpuji. Masalahnya, warga sini sebetulnyakan masih termasuk rakyatnya kraton Eyang Merapi. Nggak percaya? Coba saja Bapak perhatikan dan tanyakan kepada warga sini, apa pernah wilayah ini terkena semburan lahar panas Merapi? Pasti jawab mereka tidak," terang Bangat.
Ditambahkan, beberapa warga setempat menggambarkan sosok penguasa kraton Merapi dengan makhluk yang menyeramkan, namun berhati mulia dan tidak bermaksud jahat, "Dia adalah pengayom masyarakat setempat," tandas Suharjiyah. Besarnya rasa percaya masyarakat setempat terhadap keberadaan Eyang Merapi membuat mereka yakin bahwa akan hal-hal yang mistis yang terjadi menimpa masyarakat. Misalnya, pintu gerbang kramat, penduduk yang tinggal di lereng gunung Merapi itu percaya bahwa pintu gerbang tersebut penangkal dari segala marabahaya.
Pintu gerbang yang berdiri selama 9 abad itu nyaris pernah tersentuh bencana gunung Merapi. Padahal secara teknis daerah tersebut termasuk daftar daerah bahaya. Hal itu juga tak lepas dari keberadaan dua buah bukit (Wutah dan Kendit) yang berfungsi sebagai benteng desa-desa sekitar Kinahrejo. "Bukit Kendit maupun bukit Wutah itu kan masih masuk dalam wilayah kekuasan Eyang Merapi. Itukan pasebannya (tempat untuk menghadap raja) kraton Eyang Merapi. Jadi nggak mungkin Eyang akan tega membinasakan orang yang memang sudah lama mendiami tempat sekitar itu," Bangat menjelaskan lebih jauh.
Memang, dibandingkan penduduk desa lainnya, nasib penghuni desa Kinahrejo dan sekitarnya termasuk yang beruntung. Selain merupakan desa yang nyaris selalu luput dari ancaman bahaya lahar panas Merapi, desa yang konon termasuk desa kesayangan Eyang Merapi itu juga menjadi sebuah reresentasi dari sebuah suasana kehidupan yang serba nyaman dan tentram.
Tak aneh kalau dikemudian hari kerap muncul sindirin dikalangan penduduk setempat kepada warga diwilayah barat daya gunung Merapi yang kerap jadi langganan bencana lahar. "Kalau ingin hidup tenang tentram, pindahlah kemari. Eyang Merapi kan selalu melindungi kami," ujar Wardiyah, salah seorang warga yang mengaku penduduk asli desa Kinahrejo.
Ucapan Wardiyah tersebut memang ada benarnya. Penduduk desa Kinahrejo seolah telah mendapat garansi dari Eyang Merapi. Pendek kata, selagi mereka patuh terhadap segala peraturan yang ada misalnya selalu mempersembahkan bulu bekti berupa persembahan sesajian serta selalu melakukan ritual labuhan setiap tahunnya, mereka yakin dan optimis bahwa mereka akan senantiasa terhindar dari ancaman letusan Merapi. (sumber : click here)
MITOLOGI GUNUNG MERAPI :
Gunung Merapi (2914 meter) hingga saat ini masih dianggap sebagai gunung berapi aktif dan paling berbahaya di Indonesia, namun menawarkan panorama dan atraksi alam yang indah dan menakjubkan. Secara geografis terletak di perbatasan Kabupaten Sleman (DIY), Kabupaten Magelang (Jateng), Kabupaten Boyolali (Jateng) dan Kabupaten Klaten (Jateng). Berjarak 30 Km ke arah utara Kota Yogyakarta, 27 Km ke arah Timur dari Kota Magelang, 20 Km ke arah barat dari Kota Boyolali dan 25 Km ke arah utara dari Kota Klaten. Menurut Atlas Tropische Van Nederland lembar 21 (1938) terletak pada posisi geografi 7 derajad 32.5' Lintang Selatan dan 110 derajad 26.5' Bujur Timur. Dengan ketinggian 2914 m diatas permukaan air laut. Berada pada titik persilangan sesar Transversal perbatasan DIY dan Jawa Tengah serta sesar Longitudinal lintas Jawa (lihat Triyoga Lucas Sasongko 1990, Manusia Jawa & Gunung Merapi Persepsi dan Sistem Kepercayaanya, Gadjahmada Univ. Press). Meletus lebih dari 37 kali, terbesar pada tahun 1972 yang menewaskan 3000 jiwa. Terakhir meletus pada Selasa Kliwon tanggal 22 November 1994, dengan korban tewas lebih dari 50 orang
Mitologi G. Merapi.
Untuk memahami mitologi Gunung Merapi tidak bisa terlepas dari filosofi Kota Yogyakarta dengan karaton sebagai pancernya. Kota ini terbelah oleh sumbu imajiner yang menghubungkan Laut Kidul, Parangkusumo - Panggung Krapyak - Karaton - Tugu Pal Putih dan Gunung Merapi. Secara filosofis hal ini dibagi menjadi dua aspek, yaitu Jagat Alit dan Jagat Ageng.
Jagat alit, yang mengurai proses awal-akhir hidup dan kehidupan manusia dengan segala perilaku yang lurus sehingga terpahaminya hakekat hidup dan kehidupan manusia, digambarkan dengan planologi Kota Yogyakarta sebagai Kota Raja pada waktu itu. Planologi kota ini membujur dari selatan ke utara berawal dari Panggung Krapyak, berakhir di Tugu Pal Putih. Hal ini menekankan hubungan timbal balik antara Sang Pencipta dan manusia sebagai ciptaannnya (Sangkan Paraning dumadi). Dalam perjalanan hidupnya manusia tergoda oleh berbagai macam kenikmatan duniawi. Godaan tersebut dapat berupa wanita dan harta yang digambarkan dalam bentuk pasar Beringharjo. Adapun godaan akan kekuasaan digambarkan oleh komplek Kepatihan yang kesemuanya berada pada sisi kanan pada jalan lurus antara kraton dan Tugu Pal Putih, sebagai lambang manusia yang dekat dengan pencipta-Nya (Manunggalaing Kawula Gusti). Jagat Ageng, yang mengurai tentang hidup dan kehidupan masyarakat, di mana sang pemimpin masyarakat siapapaun dia senantiasa harus menjadikan hati nurani rakyat sebagai isteri pertama dan utamanya guna mewujudkan kesejahteraan lahir bathin bagi masyarakat dilandasi dengan keteguhan dan kepercayaan bahwa hanya satu pencipta yang Maha Besar. Jagat Ageng ini digambarkan dengan garis imajiner dari Parangkusuma di Laut selatan - Karaton Yogyakarta - Gunung Merapi. Hal ini lebih menekankan hubungan antara manusia yang hidup di dunia dimana seorang manusia harus memahami terlebih dahulu hakekat hidup dan kehidupannya sehingga mampu mencapai kesempurnaan hidup (Manungggaling Kawula Gusti). Gunung Merapi menduduki posisi penting dalam mitologi Jawa, diyakini sebagai pusat kerajaan mahluk halus, sebagai "swarga pangrantunan", dalam alur perjalanan hidup yang digambarkan dengan sumbu imajiner dan garis spiritual kelanggengan yang menghubungkan Laut Kidul - Panggung krapyak - Karaton Yogyakarta - Tugu Pal Putih - Gunung Merapi. Simbol ini mempunyai makna tentang proses kehidupan manusia mulai dari lahir sampai menghadap kepada sang Maha Pencipta. Menurut foklor yang diceritakan oleh Juru Kunci Merapi yang bernama R. Ng. Surakso Hargo atau sering disebut mbah Marijan disebutkan bahwa konon Karaton Merapi ini dikuasai oleh Empu Rama dan Empu Permadi. Dahulu sebelum kehidupan manusia, keadaan dunia miring tidak stabil. Batara Guru memerintahkan kepada kedua Empu untuk membuat keris, sebagai pusaka tanah Jawa agar dunia stabil. Namun belum selesai keburu mengutus para Dewa untuk memindahkan G. Jamurdipa yang semula berada di Laut Selatan ke Pulau Jawa bagian tengah, utara Kota Yogyakarta (sekarang) dimana kedua Empu tersebut sedang mengerjakan tugasnya. Karena bersikeras berpegang pada "Sabda Pendhita Ratu" (satunya kata dan perbuatan) serta tidak mau memindahkan kegiatannya, maka terjadilah perang antara para Dewa dengan kedua Empu tadi yang akhirnya dimenangkan oleh kedua Empu tersebut. Mendengar kekalahan para Dewa, Batara Guru memerintahkan Batara Bayu untuk menghukum keduanya dengan meniup G. Jamurdipa sehingga terbang diterpa angin besar ke arah utara dan jatuh tepat diatas perapian dan mengubur mati Empu Rama dan Permadi. Namun sebenarnya dia tidak mati hanya berubah menjadi ujud yang lain dan akhirnya menguasai Kraton makhluk halus di tempat itu. Sejak itu arwahnya dipercaya untuk memimpin kerajaan di Gunung Merapi tersebut. Masyarakat Karaton Merapi adalah komunitas arwah mereka yang tatkala hidup didunia melakukan amal yang baik. Bagi mereka yang selalu melakukan amalan yang jelek arwahnya tidak bisa diterima dalam komunitas mahluk halus Karaton Merapi, biasanya terus nglambrang kemana-mana lalu hinggap di batu besar, jembatan, jurang dsb menjadi penunggu tempat tersebut. Menurut cerita rakyat yang lain yang juga diceritakan oleh mbah Marijan : Konon pada masa kerajaan Mataram tepatnya pada pemerintahan Panembahan Senopati Pendiri Dinasti Mataram (1575-1601). Panembahan Senopati mempunyai kekasih yang bernama Kanjeng Ratu Kidul, Penguasa Laut Selatan. Ketika keduanya sedang memadu kasih dia diberi sebutir "endhog jagad" (telur dunia) untuk dimakan. Namun dinasehati oleh Ki Juru Mertani agar endog jagad tersebut jangan dimakan tapi diberikan saja kepada Ki Juru Taman. Setelah memakannya ternyata Juru Taman berubah menjadi raksasa, dengan wajah yang mengerikan. Kemudian Panembahan Senopati memerintahkan kepada si raksasa agar pergi ke G. Merapi dan diangkat menjadi Patih Karaton Merapi, dengan sebutan Kyai Sapujagad. (Marijan 1996, wawancara)
Labuhan & Selamatan
Sebagai perwujudan kepercayaan Karaton Mataram terhadap keberadaan sekutu mistisnya yaitu Karaton Kidul (di Samodera Indonesia) dan Karaton Merapi ini, maka diselenggarakan prosesi Labuhan. Labuhan berasal dari kata labuh yang artinya persembahan. Upacara adat karaton Mataram (Yogyakarta dan Surakarta) ini sebagai perwujudan doa persembahan kepada Tuhan YME agar karaton dan rakyatnya selalu diberi keselamatan dan kemakmuran. Labuhan biasanya diselenggarakan di beberapa tempat antara lain di : G. Merapi, Pantai Parangkusumo, G. Lawu dan Kahyangan Dlepih. Biasanya dilaksanakan untuk memulai suatu upacara besar tertentu seperti Tingalan Jumenengan. Barang-barang milik raja yang dilabuh antara lain : Semekan solok, semekan, kain cinde, lorodan layon sekar, guntingan rikmo, dan kenoko selama setahun, seperangkat busana sultan dan kuluk kanigoro. Disamping labuhan ada beberapa upacara selamatan yang lain yang dilakukan oleh masyarakat setempat, seperti : Sedekah Gunung, Selamatan Ternak, Selamatan Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, Selamatan Mencari Orang Hilang, Selamatan Orang Kesurupan, Selamatan Sekul Bali, Selamatan Mengambil Jenazah, Selamatan Menghadapi Bahaya Merapi, dll. Dua diantaranya ditunjukkan oleh Upacara Becekan dan Upacara Banjir Lahar berikut ini. Upacara Becekan, disebut juga Dandan Kali atau Memetri Kali yang berarti memelihara atau memperbaiki lingkungan sungai, berupa upacara meminta hujan pada musim kemarau yang berlangsung di Kalurahan Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Air sungai sangat penting bagi penduduk setempat untuk keperluan pertanian. Konon sesudah diadakan upacara biasanya segera turun hujan sehingga tanah menjadi becek maka lalu disebut becekan. Becek diartikan juga sebagai sesaji berujud daging kambing yang dimasak gulai. Dusun yang melaksanakan upacara ini antara lain : Dusun Pagerjurang, Dusun Kepuh dan Dusun Manggong. Penyelenggaraannya dibagi menjadi beberapa tahap: Pertama, memetri sumur di Dusun Kepuh (di kawasan itu hanya dusun ini yang memiliki sumur); Kedua, Upacara Becekan dilakukan di tengah-tengah Sungai Gendol; Ketiga upacara khusus di masing-masing dusun. Upacara ini dimaksudkan untuk berdoa memohon hujan kepada Tuhan YME agar tanah menjadi subur, sehingga warga menjadi sehat, aman, selamat dan sejahtera. Waktu penyelenggaraan, menggunakan pranotomongso yaitu pada mongso kapat dan harinya Jumat Kliwon, jika pada mongso kapat tidak terdapat Jumat Kliwon diundur pada mongso kalimo, sebab hari itu dianggap keramat. Upacara ini dipimpin oleh seorang modin dan diikuti oleh warga ketiga dusun. Perlu diketahui bahwa seluruh rangkaian acara ini harus dilakukan/diikuti oleh kaum laki-laki dan sesaji sama sekali tidak boleh disentuh oleh wanita serta kambing untuk sesaji harus kambing jantan. Upacara Banjir Lahar, tradisi penduduk sekitar gunung berapi, khususnya dalam menanggapi bencana lahar. Salah satunya bisa disaksikan di Dusun Tambakan, Desa Sindumartani, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, sebagai salah satu desa yang sering dilewati bencana lahar (dingin atau panas) dari Gunung Merapi. Upacara ini berupa doa mohon keselamatan dan perlindungan kepada Tuhan YME bagi segenap penduduk agar terhindar dari marabahaya, disertai dengan peletakan sesaji berupa kelapa muda di sungai yang diperkirakan akan dilewati lahar. Hal ini dilakukan bila telah melihat tanda-tanda alam akan datangnya bencana lahar yang telah mereka kenal secara turun temurun. Penduduk yang bermukim di tepi sungai-sungai yang berhulu di Gunung Merapi kadang mendengar suara-suara aneh di malam hari, misalnya gemerincing suara kereta kencana yang lewat. Konon merupakan pertanda bahwa Karaton Merapi sedang mengirimkan rombongan dalam rangka hajat untuk mengawinkan kerabatnya dengan salah satu penghuni Karaton Laut Kidul. Hal itu ditafsirkan sebagai pertanda mistis bahwa sebentar lagi akan terjadi banjir lahar yang akan melalui sungai itu, sehingga bagi mereka yang tahu akan segera membuat langkah-langkah pengamanan dan penyelamatan. Adapun tujuan dari penyelenggaraan berbagai prosesi selamatan tersebut konon adalah untuk berdoa memohon keselamatan dan kelimpahan rejeki kepada Tuhan YME serta memberi sedekah kepada makhluk halus penghuni Merapi agar tidak mengganggu penduduk, damai dan terbebas dari marabahaya, sehingga tercipta satu harmoni antara manusia dan lingkungan alam. Apabila perilaku manusia negatif maka maka alampun akan negatif pula. Konsep keseimbangan yang menjadi kearifan penduduk sekitar Gunung Merapi merupakan implementasi dari nilai-nilai yang mereka percaya bahwa para penghuni akan murka ketika menyimpang dari kaidah-kaidah alam yang benar dan seimbang. Letak harmoninya tidak saja terletak pada sesaji yang disediakan namun pada perilaku yang selalu diusahakan untuk tidak nyebal (menyimpang) dari kaedah-kaedah keseimbangan alam, yang selalu selaras serasi dan seimbang untuk menjaga keutuhan ekosistem. (Sumber : click here)
Kondisi Fisik :
Merapi (ketinggian puncak 2.968 m dpl, per 2006) adalah gunung berapi di bagian tengah Pulau Jawa dan merupakan salah satu gunung api teraktif di Indonesia. Lereng sisi selatan berada dalam administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sisanya berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang di sisi barat, Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, serta Kabupaten Klaten di sisi tenggara. Kawasan hutan di sekitar puncaknya menjadi kawasan Taman Nasional Gunung Merapi sejak tahun 2004.
Gunung ini sangat berbahaya karena menurut catatan modern mengalami erupsi (puncak keaktifan) setiap dua sampai lima tahun sekali dan dikelilingi oleh pemukiman yang sangat padat. Sejak tahun 1548, gunung ini sudah meletus sebanyak 68 kali.[rujukan?] Kota Magelang dan Kota Yogyakarta adalah kota besar terdekat, berjarak di bawah 30 km dari puncaknya. Di lerengnya masih terdapat pemukiman sampai ketinggian 1700m dan hanya berjarak empat kilometer dari puncak. Oleh karena tingkat kepentingannya ini, Merapi menjadi salah satu dari enam belas gunung api dunia yang termasuk dalam proyek Gunung Api Dekade Ini (Decade Volcanoes).
Geologi :
Gunung Merapi adalah gunung termuda dalam rangkaian gunung berapi yang mengarah ke selatan dari Gunung Ungaran. Gunung ini terbentuk karena aktivitas di zona subduksi Lempeng Indo-Australia yang bergerak ke bawah Lempeng Eurasia menyebabkan munculnya aktivitas vulkanik di sepanjang bagian tengah Pulau Jawa. Puncak yang sekarang ini tidak ditumbuhi vegetasi karena aktivitas vulkanik tinggi. Puncak ini tumbuh di sisi barat daya puncak Gunung Batulawang yang lebih tua.[2]
Proses pembentukan Gunung Merapi telah dipelajari dan dipublikasi sejak 1989 dan seterusnya.[3] Berthomier, seorang sarjana Prancis, membagi perkembangan Merapi dalam empat tahap.[4] Tahap pertama adalah Pra-Merapi (sampai 400.000 tahun yang lalu), yaitu Gunung Bibi yang bagiannya masih dapat dilihat di sisi timur puncak Merapi. Tahap Merapi Tua terjadi ketika Merapi mulai terbentuk namun belum berbentuk kerucut (60.000 - 8000 tahun lalu). Sisa-sisa tahap ini adalah Bukit Turgo dan Bukit Plawangan di bagian selatan, yang terbentuk dari lava basaltik. Selanjutnya adalah Merapi Pertengahan (8000 - 2000 tahun lalu), ditandai dengan terbentuknya puncak-puncak tinggi, seperti Bukit Gajahmungkur dan Batulawang, yang tersusun dari lava andesit. Proses pembentukan pada masa ini ditandai dengan aliran lava, breksiasi lava, dan awan panas. Aktivitas Merapi telah bersifat letusan efusif (lelehan) dan eksplosif. Diperkirakan juga terjadi letusan eksplosif dengan runtuhan material ke arah barat yang meninggalkan morfologi tapal kuda dengan panjang 7 km, lebar 1-2 km dengan beberapa bukit di lereng barat. Kawah Pasarbubar (atau Pasarbubrah) diperkirakan terbentuk pada masa ini. Puncak Merapi yang sekarang, Puncak Anyar, baru mulai terbentuk sekitar 2000 tahun yang lalu. Dalam perkembangannya, diketahui terjadi beberapa kali letusan eksplosif dengan VEI 4 berdasarkan pengamatan lapisantefra.
Karakteristik letusan sejak 1953 adalah desakan lava ke puncak kawah disertai dengan keruntuhan kubah lava secara periodik dan pembentukan awan panas (nuée ardente) yang dapat meluncur di lereng gunung atau vertikal ke atas. Letusan tipe Merapi ini secara umum tidak mengeluarkan suara ledakan tetapi desisan. Kubah puncak yang ada sampai 2010 adalah hasil proses yang berlangsung sejak letusan gas 1969.[2]
Pakar geologi pada tahun 2006 mendeteksi adanya ruang raksasa di bawah Merapi berisi material seperti lumpur yang secara "signifikan menghambat gelombang getaran gempa bumi". Para ilmuwan memperkirakan material itu adalah magma.[5] Kantung magma ini merupakan bagian dari formasi yang terbentuk akibat menghunjamnya Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Eurasia[6].
Puncak Merapi pada tahun 1930.
Letusan-letusan kecil terjadi tiap 2-3 tahun, dan yang lebih besar sekitar 10-15 tahun sekali. Letusan-letusan Merapi yang dampaknya besar tercatat di tahun1006 (dugaan), 1786, 1822, 1872, dan 1930. Letusan pada tahun 1006 membuat seluruh bagian tengah Pulau Jawa diselubungi abu, berdasarkan pengamatan timbunan debu vulkanik.[rujukan?] Ahli geologi Belanda, van Bemmelen, berteori bahwa letusan tersebut menyebabkan pusat Kerajaan Medang(Mataram Kuno) harus berpindah ke Jawa Timur. Letusan pada tahun 1872 dianggap sebagai letusan terkuat dalam catatan geologi modern dengan skala VEImencapai 3 sampai 4. Letusan terbaru, 2010, diperkirakan juga memiliki kekuatan yang mendekati atau sama. Letusan tahun 1930, yang menghancurkan tiga belas desa dan menewaskan 1400 orang, merupakan letusan dengan catatan korban terbesar hingga sekarang.
Letusan bulan November 1994 menyebabkan luncuran awan panas ke bawah hingga menjangkau beberapa desa dan memakan korban 60 jiwa manusia. Letusan 19 Juli 1998 cukup besar namun mengarah ke atas sehingga tidak memakan korban jiwa. Catatan letusan terakhir gunung ini adalah pada tahun 2001-2003 berupa aktivitas tinggi yang berlangsung terus-menerus. Pada tahun 2006 Gunung Merapi kembali beraktivitas tinggi dan sempat menelan dua nyawa sukarelawan di kawasan Kaliadem karena terkena terjangan awan panas. Rangkaian letusan pada bulan Oktober dan November 2010 dievaluasi sebagai yang terbesar sejak letusan 1872[7] dan memakan korban nyawa 273 orang (per 17 November 2010)[8], meskipun telah diberlakukan pengamatan yang intensif dan persiapan manajemen pengungsian. Letusan 2010 juga teramati sebagai penyimpangan dari letusan "tipe Merapi" karena bersifat eksplosif disertai suara ledakan dan gemuruh yang terdengar hingga jarak 20-30 km.
Gunung ini dimonitor non-stop oleh Pusat Pengamatan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta, dibantu dengan berbagai instrumen geofisika telemetri di sekitar puncak gunung serta sejumlah pos pengamatan visual dan pencatat kegempaan di Ngepos (Srumbung), Babadan, dan Kaliurang.

Erupsi 2006

Di bulan April dan Mei 2006, mulai muncul tanda-tanda bahwa Merapi akan meletus kembali, ditandai dengan gempa-gempa dan deformasi. Pemerintah daerah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta sudah mempersiapkan upaya-upaya evakuasi. Instruksi juga sudah dikeluarkan oleh kedua pemda tersebut agar penduduk yang tinggal di dekat Merapi segera mengungsi ke tempat-tempat yang telah disediakan.
Pada tanggal 15 Mei 2006 akhirnya Merapi meletus. Lalu pada 4 Juni, dilaporkan bahwa aktivitas Gunung Merapi telah melampaui status awas. Kepala BPPTK Daerah Istimewa Yogyakarta, Ratdomo Purbo menjelaskan bahwa sekitar 2-4 Juni volume lava di kubah Merapi sudah mencapai 4 juta meter kubik - artinya lava telah memenuhi seluruh kapasitas kubah Merapi sehingga tambahan semburan lava terbaru akan langsung keluar dari kubah Merapi.
1 Juni, Hujan abu vulkanik dari luncuran awan panas Gunung Merapi yang lebat, tiga hari belakangan ini terjadi di Kota Magelang dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Muntilan sekitar 14 kilometer dari Puncak Merapi, paling merasakan hujan abu ini. [9]
8 Juni, Gunung Merapi pada pukul 09:03 WIB meletus dengan semburan awan panas yang membuat ribuan warga di wilayah lereng Gunung Merapi panik dan berusaha melarikan diri ke tempat aman. Hari ini tercatat dua letusan Merapi, letusan kedua terjadi sekitar pukul 09:40 WIB. Semburan awan panas sejauh 5 km lebih mengarah ke hulu Kali Gendol (lereng selatan) dan menghanguskan sebagian kawasan hutan di utara Kaliadem di wilayah Kabupaten Sleman. [10]
Erupsi 2010
Peningkatan status dari "normal aktif" menjadi "waspada" pada tanggal 20 September 2010 direkomendasi oleh Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta. Setelah sekitar satu bulan, pada tanggal 21 Oktober status berubah menjadi "siaga" sejak pukul 18.00 WIB. Pada tingkat ini kegiatan pengungsian sudah harus dipersiapkan. Karena aktivitas yang semakin meningkat, ditunjukkan dengan tingginya frekuensi gempa multifase dan gempa vulkanik, sejak pukul 06.00 WIB tangggal 25 Oktober BPPTK Yogyakarta merekomendasi peningkatan status Gunung Merapi menjadi "awas" dan semua penghuni wilayah dalam radius 10 km dari puncak harus dievakuasi dan diungsikan ke wilayah aman.
Erupsi pertama terjadi sekitar pukul 17.02 WIB tanggal 26 Oktober. Sedikitnya terjadi hingga tiga kali letusan. Letusan menyemburkan material vulkanik setinggi kurang lebih 1,5 km dan disertai keluarnya awan panas yang menerjang Kaliadem, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman.[11] dan menelan korban 43 orang, ditambah seorang bayi dari Magelang yang tewas karena gangguan pernafasan.
Sejak saat itu mulai terjadi muntahan awan panas secara tidak teratur. Mulai 28 Oktober, Gunung Merapi memuntahkan lava pijar yang muncul hampir bersamaan dengan keluarnya awan panas pada pukul 19.54 WIB.[12] Selanjutnya mulai teramati titik api diam di puncak pada tanggal 1 November, menandai fase baru bahwa magma telah mencapai lubang kawah.
Namun demikian, berbeda dari karakter Merapi biasanya, bukannya terjadi pembentukan kubah lava baru, malah yang terjadi adalah peningkatan aktivitas semburan lava dan awan panas sejak 3 November. Erupsi eksplosif berupa letusan besar diawali pada pagi hari Kamis, 4 November 2010, menghasilkan kolom awan setinggi 4 km dan semburan awan panas ke berbagai arah di kaki Merapi. Selanjutnya, sejak sekitar pukul tiga siang hari terjadi letusan yang tidak henti-hentinya hingga malam hari dan mencapai puncaknya pada dini hari Jumat 5 November 2010. Menjelang tengah malam, radius bahaya untuk semua tempat diperbesar menjadi 20 km dari puncak. Rangkaian letusan ini serta suara gemuruh terdengar hingga Kota Yogyakarta (jarak sekitar 27 km dari puncak), Kota Magelang, dan pusat Kabupaten Wonosobo (jarak 50 km). Hujan kerikil dan pasir mencapai Kota Yogyakarta bagian utara, sedangkan hujan abu vulkanik pekat melanda hingga Purwokerto dan Cilacap. Pada siang harinya, debu vulkanik diketahui telah mencapai Tasikmalaya, Bandung,[13] dan Bogor.[14]
Bahaya sekunder berupa aliran lahar dingin juga mengancam kawasan lebih rendah setelah pada tanggal 4 November terjadi hujan deras di sekitar puncak Merapi. Pada tanggal 5 November Kali Codedi kawasan Kota Yogyakarta dinyatakan berstatus "awas" (red alert). [15]
Letusan kuat 5 November diikuti oleh aktivitas tinggi selama sekitar seminggu, sebelum kemudian terjadi sedikit penurunan aktivitas, namun status keamanan tetap "Awas". Pada tanggal 15 November 2010 batas radius bahaya untuk Kabupaten Magelang dikurangi menjadi 15 km dan untuk dua kabupaten Jawa Tengah lainnya menjadi 10 km. Hanya bagi Kab. Sleman yang masih tetap diberlakukan radius bahaya 20 km.[16]

Vegetasi

Gunung Merapi di bagian puncak tidak pernah ditumbuhi vegetasi karena aktivitas yang tinggi. Jenis tumbuhan di bagian teratas bertipe alpina khas pegunungan Jawa, seperti Rhododendron danedeweis jawa. Agak ke bawah terdapat hutan bambu dan tetumbuhan pegunungan tropika.
Lereng Merapi, khususnya di bawah 1.000 m, merupakan tempat asal dua kultivar salak unggul nasional, yaitu salak 'Pondoh' dan 'Nglumut'.

Rute pendakian

Gunung Merapi merupakan obyek pendakian yang populer. karena gunung ini merupakan gunung yang sangat mempesona. Jalur pendakian yang paling umum dan dekat adalah melalui sisi utara dariSèlo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, tepatnya di Desa Tlogolele. Desa ini terletak di antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Pendakian melalui Selo memakan waktu sekitar lima jam hingga ke puncak.
Jalur populer lain adalah melalui Kaliurang, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta di sisi selatan. Jalur ini lebih terjal dan memakan waktu sekitar 6-7 jam hingga ke puncak. Jalur alternatif yang lain adalah melalui sisi barat laut, dimulai dari Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dan melalui sisi tenggara, dari arah Deles, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. (Sumber : click here)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar