GUNUNG MERAPI
"Sak piro dukure gunung isik dukuran suket..., sak piro gedhe'ne kekuasaane menungso isik onok wates lan titi mongso'e..."
Ekstrak Fenomena :
MISTIS :
NAMA
gunung Merapi sudah cukup populer di telinga masyarakat Indonesia.
Sesuatu yang berkaitan keberadaan gunung Merapi kerap dikaitkan dengan
hal-hal berbau misteri, di antaranya keberadaan makhluk-makhluk gaib
penguasa dan penghuni gunung Merapi. Hal ini tidaklah berlebihan, karena
hasil investigasi membuktikan bahwa masyarakat setempat yakin kalau
penghuni dan penguasa gunung Merapi memang ada.
Mereka
memanggilnya dengan sebutan Eyang Merapi. "Bapak lihat bukit kecil di
atas itu? Itu namanya gunung Wutah, gapuranya atau pintu gerbangnya
kraton Eyang Merapi". Sebaris kalimat dengan nada bangga itu meluncur
begitu saja dari Bangat, seorang penduduk asli Kinahrejo Cangkrinagan
Sleman, sesaat setelah kami menapaki sebuah ara tandus berbatu tanpa
hiasan pepohonan sebatang pun.
Masyarakat
setempat meyakini, kawasan wingit yang diapit oleh dua buah gundukan
kecil itu memang dikenal sebagai pelatarannya keraton Eyang Merapi.
Untuk naik ke sana, diingatkan agar uluk salam, atau sekadar minta
permisi begitu di atasnya. "Kulo nuwun Eyang, kulo ingkang sowan,
sumangga silakna rikma niro," imbuh istri Bangat, Suharjiyah, sembari
menuntun kami untuk menirukan lafal tersebut.
Tenyu
saja, imbauan sepasang suami istri yang tubuhnya kian keriput dimakan
usia itu bukan tanpa alasan. Menurutnya, sang penguasa kraton Merapi
sangat tersinggung bila ada pendatang baru yang neko-neko (berbuat
macam-macam), pethakilan (bertingkah tidak senonoh) tanpa memberi uluk
salam (permisi). Hal-hal tersebut jika dilanggar akibatnya akan sangat
fatal. "Mereka yang sama sekali tidak mengubris pakem kultur tersebut
jelas akibatnya akan fatal, biasanya akan tersesat hingga kecebur
jurang," tegas Bangat.
Satu
hal yang perlu diingat, setiap pendatang baru di kawasan Kinahrejo
niscaya bakal celaka bila sampai menyakiti hati penduduk setempat.
"Nantinya bisa-bisa kuwalat jadinya," imbuh Bangat. Sekejam itukah?
"Sebenarnya sih enggak. Cuma memang, Eyang Merapi itu nggak suka kalau
kampung sini (Kinahrejo, Red) jadi sasaran perbuatan yang nggak terpuji.
Masalahnya, warga sini sebetulnyakan masih termasuk rakyatnya kraton
Eyang Merapi. Nggak percaya? Coba saja Bapak perhatikan dan tanyakan
kepada warga sini, apa pernah wilayah ini terkena semburan lahar panas
Merapi? Pasti jawab mereka tidak," terang Bangat.
Ditambahkan,
beberapa warga setempat menggambarkan sosok penguasa kraton Merapi
dengan makhluk yang menyeramkan, namun berhati mulia dan tidak bermaksud
jahat, "Dia adalah pengayom masyarakat setempat," tandas Suharjiyah.
Besarnya rasa percaya masyarakat setempat terhadap keberadaan Eyang
Merapi membuat mereka yakin bahwa akan hal-hal yang mistis yang terjadi
menimpa masyarakat. Misalnya, pintu gerbang kramat, penduduk yang
tinggal di lereng gunung Merapi itu percaya bahwa pintu gerbang tersebut
penangkal dari segala marabahaya.
Pintu
gerbang yang berdiri selama 9 abad itu nyaris pernah tersentuh bencana
gunung Merapi. Padahal secara teknis daerah tersebut termasuk daftar
daerah bahaya. Hal itu juga tak lepas dari keberadaan dua buah bukit
(Wutah dan Kendit) yang berfungsi sebagai benteng desa-desa sekitar
Kinahrejo. "Bukit Kendit maupun bukit Wutah itu kan masih masuk dalam
wilayah kekuasan Eyang Merapi. Itukan pasebannya (tempat untuk menghadap
raja) kraton Eyang Merapi. Jadi nggak mungkin Eyang akan tega
membinasakan orang yang memang sudah lama mendiami tempat sekitar itu,"
Bangat menjelaskan lebih jauh.
Memang,
dibandingkan penduduk desa lainnya, nasib penghuni desa Kinahrejo dan
sekitarnya termasuk yang beruntung. Selain merupakan desa yang nyaris
selalu luput dari ancaman bahaya lahar panas Merapi, desa yang konon
termasuk desa kesayangan Eyang Merapi itu juga menjadi sebuah
reresentasi dari sebuah suasana kehidupan yang serba nyaman dan tentram.
Tak
aneh kalau dikemudian hari kerap muncul sindirin dikalangan penduduk
setempat kepada warga diwilayah barat daya gunung Merapi yang kerap jadi
langganan bencana lahar. "Kalau ingin hidup tenang tentram, pindahlah
kemari. Eyang Merapi kan selalu melindungi kami," ujar Wardiyah, salah
seorang warga yang mengaku penduduk asli desa Kinahrejo.
Ucapan
Wardiyah tersebut memang ada benarnya. Penduduk desa Kinahrejo seolah
telah mendapat garansi dari Eyang Merapi. Pendek kata, selagi mereka
patuh terhadap segala peraturan yang ada misalnya selalu mempersembahkan
bulu bekti berupa persembahan sesajian serta selalu melakukan ritual
labuhan setiap tahunnya, mereka yakin dan optimis bahwa mereka akan
senantiasa terhindar dari ancaman letusan Merapi. (sumber : click here)
MITOLOGI GUNUNG MERAPI :
Gunung
Merapi (2914 meter) hingga saat ini masih dianggap sebagai gunung
berapi aktif dan paling berbahaya di Indonesia, namun menawarkan
panorama dan atraksi alam yang indah dan menakjubkan. Secara geografis
terletak di perbatasan Kabupaten Sleman (DIY), Kabupaten Magelang
(Jateng), Kabupaten Boyolali (Jateng) dan Kabupaten Klaten (Jateng).
Berjarak 30 Km ke arah utara Kota Yogyakarta, 27 Km ke arah Timur dari
Kota Magelang, 20 Km ke arah barat dari Kota Boyolali dan 25 Km ke arah
utara dari Kota Klaten. Menurut Atlas Tropische Van Nederland lembar 21
(1938) terletak pada posisi geografi 7 derajad 32.5' Lintang Selatan
dan 110 derajad 26.5' Bujur Timur. Dengan ketinggian 2914 m diatas
permukaan air laut. Berada pada titik persilangan sesar Transversal
perbatasan DIY dan Jawa Tengah serta sesar Longitudinal lintas Jawa
(lihat Triyoga Lucas Sasongko 1990, Manusia Jawa & Gunung Merapi
Persepsi dan Sistem Kepercayaanya, Gadjahmada Univ. Press). Meletus
lebih dari 37 kali, terbesar pada tahun 1972 yang menewaskan 3000 jiwa.
Terakhir meletus pada Selasa Kliwon tanggal 22 November 1994, dengan
korban tewas lebih dari 50 orang
Mitologi G. Merapi.
Untuk
memahami mitologi Gunung Merapi tidak bisa terlepas dari filosofi Kota
Yogyakarta dengan karaton sebagai pancernya. Kota ini terbelah oleh
sumbu imajiner yang menghubungkan Laut Kidul, Parangkusumo - Panggung
Krapyak - Karaton - Tugu Pal Putih dan Gunung Merapi. Secara filosofis
hal ini dibagi menjadi dua aspek, yaitu Jagat Alit dan Jagat Ageng.
Jagat alit, yang mengurai proses awal-akhir hidup dan kehidupan manusia
dengan segala perilaku yang lurus sehingga terpahaminya hakekat hidup
dan kehidupan manusia, digambarkan dengan planologi Kota Yogyakarta
sebagai Kota Raja pada waktu itu. Planologi kota ini membujur dari
selatan ke utara berawal dari Panggung Krapyak, berakhir di Tugu Pal
Putih. Hal ini menekankan hubungan timbal balik antara Sang Pencipta dan
manusia sebagai ciptaannnya (Sangkan Paraning dumadi). Dalam
perjalanan hidupnya manusia tergoda oleh berbagai macam kenikmatan
duniawi. Godaan tersebut dapat berupa wanita dan harta yang digambarkan
dalam bentuk pasar Beringharjo. Adapun godaan akan kekuasaan digambarkan
oleh komplek Kepatihan yang kesemuanya berada pada sisi kanan pada
jalan lurus antara kraton dan Tugu Pal Putih, sebagai lambang manusia
yang dekat dengan pencipta-Nya (Manunggalaing Kawula Gusti). Jagat
Ageng, yang mengurai tentang hidup dan kehidupan masyarakat, di mana
sang pemimpin masyarakat siapapaun dia senantiasa harus menjadikan hati
nurani rakyat sebagai isteri pertama dan utamanya guna mewujudkan
kesejahteraan lahir bathin bagi masyarakat dilandasi dengan keteguhan
dan kepercayaan bahwa hanya satu pencipta yang Maha Besar. Jagat Ageng
ini digambarkan dengan garis imajiner dari Parangkusuma di Laut selatan -
Karaton Yogyakarta - Gunung Merapi. Hal ini lebih menekankan hubungan
antara manusia yang hidup di dunia dimana seorang manusia harus memahami
terlebih dahulu hakekat hidup dan kehidupannya sehingga mampu mencapai
kesempurnaan hidup (Manungggaling Kawula Gusti). Gunung Merapi
menduduki posisi penting dalam mitologi Jawa, diyakini sebagai pusat
kerajaan mahluk halus, sebagai "swarga pangrantunan", dalam alur
perjalanan hidup yang digambarkan dengan sumbu imajiner dan garis
spiritual kelanggengan yang menghubungkan Laut Kidul - Panggung krapyak -
Karaton Yogyakarta - Tugu Pal Putih - Gunung Merapi. Simbol ini
mempunyai makna tentang proses kehidupan manusia mulai dari lahir sampai
menghadap kepada sang Maha Pencipta. Menurut foklor yang diceritakan
oleh Juru Kunci Merapi yang bernama R. Ng. Surakso Hargo atau sering
disebut mbah Marijan disebutkan bahwa konon Karaton Merapi ini dikuasai
oleh Empu Rama dan Empu Permadi. Dahulu sebelum kehidupan manusia,
keadaan dunia miring tidak stabil. Batara Guru memerintahkan kepada
kedua Empu untuk membuat keris, sebagai pusaka tanah Jawa agar dunia
stabil. Namun belum selesai keburu mengutus para Dewa untuk memindahkan
G. Jamurdipa yang semula berada di Laut Selatan ke Pulau Jawa bagian
tengah, utara Kota Yogyakarta (sekarang) dimana kedua Empu tersebut
sedang mengerjakan tugasnya. Karena bersikeras berpegang pada "Sabda
Pendhita Ratu" (satunya kata dan perbuatan) serta tidak mau memindahkan
kegiatannya, maka terjadilah perang antara para Dewa dengan kedua Empu
tadi yang akhirnya dimenangkan oleh kedua Empu tersebut. Mendengar
kekalahan para Dewa, Batara Guru memerintahkan Batara Bayu untuk
menghukum keduanya dengan meniup G. Jamurdipa sehingga terbang diterpa
angin besar ke arah utara dan jatuh tepat diatas perapian dan mengubur
mati Empu Rama dan Permadi. Namun sebenarnya dia tidak mati hanya
berubah menjadi ujud yang lain dan akhirnya menguasai Kraton makhluk
halus di tempat itu. Sejak itu arwahnya dipercaya untuk memimpin
kerajaan di Gunung Merapi tersebut. Masyarakat Karaton Merapi adalah
komunitas arwah mereka yang tatkala hidup didunia melakukan amal yang
baik. Bagi mereka yang selalu melakukan amalan yang jelek arwahnya tidak
bisa diterima dalam komunitas mahluk halus Karaton Merapi, biasanya
terus nglambrang kemana-mana lalu hinggap di batu besar, jembatan,
jurang dsb menjadi penunggu tempat tersebut. Menurut cerita rakyat yang
lain yang juga diceritakan oleh mbah Marijan : Konon pada masa kerajaan
Mataram tepatnya pada pemerintahan Panembahan Senopati Pendiri Dinasti
Mataram (1575-1601). Panembahan Senopati mempunyai kekasih yang bernama
Kanjeng Ratu Kidul, Penguasa Laut Selatan. Ketika keduanya sedang memadu
kasih dia diberi sebutir "endhog jagad" (telur dunia) untuk dimakan.
Namun dinasehati oleh Ki Juru Mertani agar endog jagad tersebut jangan
dimakan tapi diberikan saja kepada Ki Juru Taman. Setelah memakannya
ternyata Juru Taman berubah menjadi raksasa, dengan wajah yang
mengerikan. Kemudian Panembahan Senopati memerintahkan kepada si raksasa
agar pergi ke G. Merapi dan diangkat menjadi Patih Karaton Merapi,
dengan sebutan Kyai Sapujagad. (Marijan 1996, wawancara)
Labuhan & Selamatan
Sebagai
perwujudan kepercayaan Karaton Mataram terhadap keberadaan sekutu
mistisnya yaitu Karaton Kidul (di Samodera Indonesia) dan Karaton Merapi
ini, maka diselenggarakan prosesi Labuhan. Labuhan berasal dari kata
labuh yang artinya persembahan. Upacara adat karaton Mataram (Yogyakarta
dan Surakarta) ini sebagai perwujudan doa persembahan kepada Tuhan YME
agar karaton dan rakyatnya selalu diberi keselamatan dan kemakmuran.
Labuhan biasanya diselenggarakan di beberapa tempat antara lain di : G.
Merapi, Pantai Parangkusumo, G. Lawu dan Kahyangan Dlepih. Biasanya
dilaksanakan untuk memulai suatu upacara besar tertentu seperti Tingalan
Jumenengan. Barang-barang milik raja yang dilabuh antara lain : Semekan
solok, semekan, kain cinde, lorodan layon sekar, guntingan rikmo, dan
kenoko selama setahun, seperangkat busana sultan dan kuluk kanigoro.
Disamping labuhan ada beberapa upacara selamatan yang lain yang
dilakukan oleh masyarakat setempat, seperti : Sedekah Gunung, Selamatan
Ternak, Selamatan Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, Selamatan Mencari
Orang Hilang, Selamatan Orang Kesurupan, Selamatan Sekul Bali, Selamatan
Mengambil Jenazah, Selamatan Menghadapi Bahaya Merapi, dll. Dua
diantaranya ditunjukkan oleh Upacara Becekan dan Upacara Banjir Lahar
berikut ini. Upacara Becekan, disebut juga Dandan Kali atau Memetri
Kali yang berarti memelihara atau memperbaiki lingkungan sungai, berupa
upacara meminta hujan pada musim kemarau yang berlangsung di Kalurahan
Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Air sungai sangat
penting bagi penduduk setempat untuk keperluan pertanian. Konon sesudah
diadakan upacara biasanya segera turun hujan sehingga tanah menjadi
becek maka lalu disebut becekan. Becek diartikan juga sebagai sesaji
berujud daging kambing yang dimasak gulai. Dusun yang melaksanakan
upacara ini antara lain : Dusun Pagerjurang, Dusun Kepuh dan Dusun
Manggong. Penyelenggaraannya dibagi menjadi beberapa tahap: Pertama,
memetri sumur di Dusun Kepuh (di kawasan itu hanya dusun ini yang
memiliki sumur); Kedua, Upacara Becekan dilakukan di tengah-tengah
Sungai Gendol; Ketiga upacara khusus di masing-masing dusun. Upacara ini
dimaksudkan untuk berdoa memohon hujan kepada Tuhan YME agar tanah
menjadi subur, sehingga warga menjadi sehat, aman, selamat dan
sejahtera. Waktu penyelenggaraan, menggunakan pranotomongso yaitu pada
mongso kapat dan harinya Jumat Kliwon, jika pada mongso kapat tidak
terdapat Jumat Kliwon diundur pada mongso kalimo, sebab hari itu
dianggap keramat. Upacara ini dipimpin oleh seorang modin dan diikuti
oleh warga ketiga dusun. Perlu diketahui bahwa seluruh rangkaian acara
ini harus dilakukan/diikuti oleh kaum laki-laki dan sesaji sama sekali
tidak boleh disentuh oleh wanita serta kambing untuk sesaji harus
kambing jantan. Upacara Banjir Lahar, tradisi penduduk sekitar gunung
berapi, khususnya dalam menanggapi bencana lahar. Salah satunya bisa
disaksikan di Dusun Tambakan, Desa Sindumartani, Kecamatan Cangkringan,
Kabupaten Sleman, sebagai salah satu desa yang sering dilewati bencana
lahar (dingin atau panas) dari Gunung Merapi. Upacara ini berupa doa
mohon keselamatan dan perlindungan kepada Tuhan YME bagi segenap
penduduk agar terhindar dari marabahaya, disertai dengan peletakan
sesaji berupa kelapa muda di sungai yang diperkirakan akan dilewati
lahar. Hal ini dilakukan bila telah melihat tanda-tanda alam akan
datangnya bencana lahar yang telah mereka kenal secara turun temurun.
Penduduk yang bermukim di tepi sungai-sungai yang berhulu di Gunung
Merapi kadang mendengar suara-suara aneh di malam hari, misalnya
gemerincing suara kereta kencana yang lewat. Konon merupakan pertanda
bahwa Karaton Merapi sedang mengirimkan rombongan dalam rangka hajat
untuk mengawinkan kerabatnya dengan salah satu penghuni Karaton Laut
Kidul. Hal itu ditafsirkan sebagai pertanda mistis bahwa sebentar lagi
akan terjadi banjir lahar yang akan melalui sungai itu, sehingga bagi
mereka yang tahu akan segera membuat langkah-langkah pengamanan dan
penyelamatan. Adapun tujuan dari penyelenggaraan berbagai prosesi
selamatan tersebut konon adalah untuk berdoa memohon keselamatan dan
kelimpahan rejeki kepada Tuhan YME serta memberi sedekah kepada makhluk
halus penghuni Merapi agar tidak mengganggu penduduk, damai dan terbebas
dari marabahaya, sehingga tercipta satu harmoni antara manusia dan
lingkungan alam. Apabila perilaku manusia negatif maka maka alampun akan
negatif pula. Konsep keseimbangan yang menjadi kearifan penduduk
sekitar Gunung Merapi merupakan implementasi dari nilai-nilai yang
mereka percaya bahwa para penghuni akan murka ketika menyimpang dari
kaidah-kaidah alam yang benar dan seimbang. Letak harmoninya tidak saja
terletak pada sesaji yang disediakan namun pada perilaku yang selalu
diusahakan untuk tidak nyebal (menyimpang) dari kaedah-kaedah
keseimbangan alam, yang selalu selaras serasi dan seimbang untuk menjaga
keutuhan ekosistem. (Sumber : click here)
Kondisi Fisik :
Merapi (ketinggian puncak 2.968 m dpl, per 2006) adalah gunung berapi di bagian tengah Pulau Jawa dan merupakan salah satu gunung api teraktif di Indonesia. Lereng sisi selatan berada dalam administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sisanya berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang di sisi barat, Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, serta Kabupaten Klaten di sisi tenggara. Kawasan hutan di sekitar puncaknya menjadi kawasan Taman Nasional Gunung Merapi sejak tahun 2004.
Gunung ini sangat berbahaya karena menurut catatan modern mengalami erupsi (puncak keaktifan) setiap dua sampai lima tahun sekali dan dikelilingi oleh pemukiman yang sangat padat. Sejak tahun 1548, gunung ini sudah meletus sebanyak 68 kali.[rujukan?] Kota Magelang dan Kota Yogyakarta
adalah kota besar terdekat, berjarak di bawah 30 km dari puncaknya. Di
lerengnya masih terdapat pemukiman sampai ketinggian 1700m
dan hanya berjarak empat kilometer dari puncak. Oleh karena tingkat
kepentingannya ini, Merapi menjadi salah satu dari enam belas gunung api
dunia yang termasuk dalam proyek Gunung Api Dekade Ini (Decade Volcanoes).
Geologi :
Gunung Merapi adalah gunung termuda dalam rangkaian gunung berapi yang mengarah ke selatan dari Gunung Ungaran. Gunung ini terbentuk karena aktivitas di zona subduksi Lempeng Indo-Australia yang bergerak ke bawah Lempeng Eurasia menyebabkan munculnya aktivitas vulkanik di sepanjang bagian tengah Pulau Jawa. Puncak yang sekarang ini tidak ditumbuhi vegetasi karena aktivitas vulkanik tinggi. Puncak ini tumbuh di sisi barat daya puncak Gunung Batulawang yang lebih tua.[2]
Proses pembentukan Gunung Merapi telah dipelajari dan dipublikasi sejak 1989 dan seterusnya.[3] Berthomier, seorang sarjana Prancis, membagi perkembangan Merapi dalam empat tahap.[4]
Tahap pertama adalah Pra-Merapi (sampai 400.000 tahun yang lalu), yaitu
Gunung Bibi yang bagiannya masih dapat dilihat di sisi timur puncak
Merapi. Tahap Merapi Tua terjadi ketika Merapi mulai terbentuk namun
belum berbentuk kerucut (60.000 - 8000 tahun lalu). Sisa-sisa tahap ini
adalah Bukit Turgo dan Bukit Plawangan di bagian selatan, yang terbentuk
dari lava basaltik. Selanjutnya adalah Merapi Pertengahan (8000 - 2000
tahun lalu), ditandai dengan terbentuknya puncak-puncak tinggi, seperti
Bukit Gajahmungkur dan Batulawang, yang tersusun dari lava andesit.
Proses pembentukan pada masa ini ditandai dengan aliran lava, breksiasi
lava, dan awan panas. Aktivitas Merapi telah bersifat letusan efusif
(lelehan) dan eksplosif. Diperkirakan juga terjadi letusan eksplosif
dengan runtuhan material ke arah barat yang meninggalkan morfologi tapal
kuda dengan panjang 7 km, lebar 1-2 km dengan beberapa bukit di lereng
barat. Kawah Pasarbubar (atau Pasarbubrah) diperkirakan terbentuk pada
masa ini. Puncak Merapi yang sekarang, Puncak Anyar, baru mulai
terbentuk sekitar 2000 tahun yang lalu. Dalam perkembangannya, diketahui
terjadi beberapa kali letusan eksplosif dengan VEI 4 berdasarkan pengamatan lapisantefra.
Karakteristik letusan sejak 1953 adalah desakan lava ke puncak kawah disertai dengan keruntuhan kubah lava secara periodik dan pembentukan awan panas (nuée ardente)
yang dapat meluncur di lereng gunung atau vertikal ke atas. Letusan
tipe Merapi ini secara umum tidak mengeluarkan suara ledakan tetapi
desisan. Kubah puncak yang ada sampai 2010 adalah hasil proses yang
berlangsung sejak letusan gas 1969.[2]
Pakar
geologi pada tahun 2006 mendeteksi adanya ruang raksasa di bawah Merapi
berisi material seperti lumpur yang secara "signifikan menghambat
gelombang getaran gempa bumi". Para ilmuwan memperkirakan material itu
adalah magma.[5] Kantung magma ini merupakan bagian dari formasi yang terbentuk akibat menghunjamnya Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Eurasia[6].
Letusan-letusan
kecil terjadi tiap 2-3 tahun, dan yang lebih besar sekitar 10-15 tahun
sekali. Letusan-letusan Merapi yang dampaknya besar tercatat di tahun1006 (dugaan), 1786, 1822, 1872, dan 1930. Letusan pada tahun 1006 membuat seluruh bagian tengah Pulau Jawa diselubungi abu, berdasarkan pengamatan timbunan debu vulkanik.[rujukan?] Ahli geologi Belanda, van Bemmelen, berteori bahwa letusan tersebut menyebabkan pusat Kerajaan Medang(Mataram Kuno) harus berpindah ke Jawa Timur. Letusan pada tahun 1872 dianggap sebagai letusan terkuat dalam catatan geologi modern dengan skala VEImencapai 3 sampai 4. Letusan terbaru, 2010, diperkirakan juga memiliki kekuatan yang mendekati atau sama. Letusan tahun 1930,
yang menghancurkan tiga belas desa dan menewaskan 1400 orang, merupakan
letusan dengan catatan korban terbesar hingga sekarang.
Letusan bulan November 1994 menyebabkan luncuran awan panas
ke bawah hingga menjangkau beberapa desa dan memakan korban 60 jiwa
manusia. Letusan 19 Juli 1998 cukup besar namun mengarah ke atas
sehingga tidak memakan korban jiwa. Catatan letusan terakhir gunung ini
adalah pada tahun 2001-2003 berupa aktivitas tinggi yang berlangsung
terus-menerus. Pada tahun 2006 Gunung Merapi kembali beraktivitas tinggi
dan sempat menelan dua nyawa sukarelawan di kawasan Kaliadem karena
terkena terjangan awan panas. Rangkaian letusan pada bulan Oktober dan
November 2010 dievaluasi sebagai yang terbesar sejak letusan 1872[7] dan memakan korban nyawa 273 orang (per 17 November 2010)[8],
meskipun telah diberlakukan pengamatan yang intensif dan persiapan
manajemen pengungsian. Letusan 2010 juga teramati sebagai penyimpangan
dari letusan "tipe Merapi" karena bersifat eksplosif disertai suara
ledakan dan gemuruh yang terdengar hingga jarak 20-30 km.
Gunung ini dimonitor non-stop oleh Pusat Pengamatan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta, dibantu dengan berbagai instrumen geofisika telemetri
di sekitar puncak gunung serta sejumlah pos pengamatan visual dan
pencatat kegempaan di Ngepos (Srumbung), Babadan, dan Kaliurang.
Erupsi 2006
Di bulan April dan Mei 2006, mulai muncul tanda-tanda bahwa Merapi akan meletus kembali, ditandai dengan gempa-gempa dan deformasi. Pemerintah daerah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta
sudah mempersiapkan upaya-upaya evakuasi. Instruksi juga sudah
dikeluarkan oleh kedua pemda tersebut agar penduduk yang tinggal di
dekat Merapi segera mengungsi ke tempat-tempat yang telah disediakan.
Pada tanggal 15 Mei 2006 akhirnya Merapi meletus. Lalu pada 4 Juni, dilaporkan bahwa aktivitas Gunung Merapi telah melampaui status awas. Kepala BPPTK
Daerah Istimewa Yogyakarta, Ratdomo Purbo menjelaskan bahwa sekitar 2-4
Juni volume lava di kubah Merapi sudah mencapai 4 juta meter kubik -
artinya lava telah memenuhi seluruh kapasitas kubah Merapi sehingga
tambahan semburan lava terbaru akan langsung keluar dari kubah Merapi.
1 Juni, Hujan abu vulkanik dari luncuran awan panas Gunung Merapi yang lebat, tiga hari belakangan ini terjadi di Kota Magelang dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Muntilan sekitar 14 kilometer dari Puncak Merapi, paling merasakan hujan abu ini. [9]
8 Juni, Gunung Merapi pada pukul 09:03 WIB meletus dengan semburan awan panas
yang membuat ribuan warga di wilayah lereng Gunung Merapi panik dan
berusaha melarikan diri ke tempat aman. Hari ini tercatat dua letusan
Merapi, letusan kedua terjadi sekitar pukul 09:40 WIB. Semburan awan
panas sejauh 5 km lebih mengarah ke hulu Kali Gendol (lereng selatan) dan menghanguskan sebagian kawasan hutan di utara Kaliadem di wilayah Kabupaten Sleman. [10]
Erupsi 2010
Peningkatan status dari "normal aktif" menjadi "waspada" pada tanggal 20 September
2010 direkomendasi oleh Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi
Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta. Setelah sekitar satu bulan, pada
tanggal 21 Oktober
status berubah menjadi "siaga" sejak pukul 18.00 WIB. Pada tingkat ini
kegiatan pengungsian sudah harus dipersiapkan. Karena aktivitas yang
semakin meningkat, ditunjukkan dengan tingginya frekuensi gempa
multifase dan gempa vulkanik, sejak pukul 06.00 WIB tangggal 25 Oktober
BPPTK Yogyakarta merekomendasi peningkatan status Gunung Merapi menjadi
"awas" dan semua penghuni wilayah dalam radius 10 km dari puncak harus
dievakuasi dan diungsikan ke wilayah aman.
Erupsi pertama terjadi sekitar pukul 17.02 WIB tanggal 26 Oktober.
Sedikitnya terjadi hingga tiga kali letusan. Letusan menyemburkan
material vulkanik setinggi kurang lebih 1,5 km dan disertai keluarnya
awan panas yang menerjang Kaliadem, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman.[11] dan menelan korban 43 orang, ditambah seorang bayi dari Magelang yang tewas karena gangguan pernafasan.
Sejak saat itu mulai terjadi muntahan awan panas secara tidak teratur. Mulai 28 Oktober, Gunung Merapi memuntahkan lava pijar yang muncul hampir bersamaan dengan keluarnya awan panas pada pukul 19.54 WIB.[12]
Selanjutnya mulai teramati titik api diam di puncak pada tanggal 1
November, menandai fase baru bahwa magma telah mencapai lubang kawah.
Namun
demikian, berbeda dari karakter Merapi biasanya, bukannya terjadi
pembentukan kubah lava baru, malah yang terjadi adalah peningkatan
aktivitas semburan lava dan awan panas sejak 3 November. Erupsi
eksplosif berupa letusan besar diawali pada pagi hari Kamis, 4 November
2010, menghasilkan kolom awan setinggi 4 km dan semburan awan panas ke
berbagai arah di kaki Merapi. Selanjutnya, sejak sekitar pukul tiga
siang hari terjadi letusan yang tidak henti-hentinya hingga malam hari
dan mencapai puncaknya pada dini hari Jumat 5 November 2010. Menjelang
tengah malam, radius bahaya untuk semua tempat diperbesar menjadi 20 km
dari puncak. Rangkaian letusan ini serta suara gemuruh terdengar hingga
Kota Yogyakarta (jarak sekitar 27 km dari puncak), Kota Magelang, dan pusat Kabupaten Wonosobo
(jarak 50 km). Hujan kerikil dan pasir mencapai Kota Yogyakarta bagian
utara, sedangkan hujan abu vulkanik pekat melanda hingga Purwokerto dan
Cilacap. Pada siang harinya, debu vulkanik diketahui telah mencapai Tasikmalaya, Bandung,[13] dan Bogor.[14]
Bahaya
sekunder berupa aliran lahar dingin juga mengancam kawasan lebih rendah
setelah pada tanggal 4 November terjadi hujan deras di sekitar puncak
Merapi. Pada tanggal 5 November Kali Codedi kawasan Kota Yogyakarta dinyatakan berstatus "awas" (red alert). [15]
Letusan
kuat 5 November diikuti oleh aktivitas tinggi selama sekitar seminggu,
sebelum kemudian terjadi sedikit penurunan aktivitas, namun status
keamanan tetap "Awas". Pada tanggal 15 November 2010 batas radius bahaya
untuk Kabupaten Magelang dikurangi menjadi 15 km dan untuk dua
kabupaten Jawa Tengah lainnya menjadi 10 km. Hanya bagi Kab. Sleman yang
masih tetap diberlakukan radius bahaya 20 km.[16]
Vegetasi
Gunung
Merapi di bagian puncak tidak pernah ditumbuhi vegetasi karena
aktivitas yang tinggi. Jenis tumbuhan di bagian teratas bertipe alpina
khas pegunungan Jawa, seperti Rhododendron danedeweis jawa. Agak ke bawah terdapat hutan bambu dan tetumbuhan pegunungan tropika.
Lereng Merapi, khususnya di bawah 1.000 m, merupakan tempat asal dua kultivar salak unggul nasional, yaitu salak 'Pondoh' dan 'Nglumut'.
Rute pendakian
Gunung
Merapi merupakan obyek pendakian yang populer. karena gunung ini
merupakan gunung yang sangat mempesona. Jalur pendakian yang paling umum
dan dekat adalah melalui sisi utara dariSèlo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, tepatnya di Desa Tlogolele. Desa ini terletak di antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Pendakian melalui Selo memakan waktu sekitar lima jam hingga ke puncak.
Jalur populer lain adalah melalui Kaliurang, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta
di sisi selatan. Jalur ini lebih terjal dan memakan waktu sekitar 6-7
jam hingga ke puncak. Jalur alternatif yang lain adalah melalui sisi
barat laut, dimulai dari Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dan melalui sisi tenggara, dari arah Deles, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. (Sumber : click here)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar